A Letter from Jakarta
by Soviah Khoriyati
The Letters Page, Vol. 5 comes to you as a collection of translated letters written by authors based in UNESCO Cities of Literature who are, like Nottingham, celebrating ten years of their City of Literature status. We have contributions from Barcelona and Baghdad, from Lviv and Ljubljana, and from many other locations across the globe. Space constraints prevented us from publishing the original, untranslated letters as part of our craft-bound book, so instead we present them here in digital form for your perusal.
Below is a copy of the original letter by author Soviah Khoriyati, all the way from Jakarta. In her letter, Khoriyati guides us through the friendship that bloomed between her and her elderly landlady Ibu. E., whom she first met searching for a boarding house. Their story is built upon countless others, in particular tales of Pramoedya – Indonesia’s hero of the poor. – Imogen Sykes
Teruntuk Penulis dan Pembaca
Di Nottingham
“Kamu penulis? Tahu Pramoedya Ananta Toer? Kami bertetangga. Saya kenal anak-anaknya.”
Itu adalah berondongan kalimat yang saya terima, ketika pertama kali indekos di pinggiran Jakarta Timur. Tepat setelah menerima tawaran kerja menjadi editor buku. Indekos ini saya dapatkan dengan napas tilas selang beberapa hari menandatangani kontrak kerja.
Jaraknya ke kantor tidak lebih dari 300 meter. Jalan lurus, tidak berkelak-kelok, walau gang yang dilewati acap semerbak kencing kering bekas semalam. Entah kucing atau manusia. Saya berprasangka baik itu kucing saja.
Saya tidak suka cari indekos lewat aplikasi, jadilah survei lapangan terjadi. Saat survei, saya jalan, membeli di warung-warung sekitaran, lalu bergaul dan berkelakar dengan lokal. Saya bilang, “Saya lagi cari orang tua di perantauan.” Yah, strategi ini mengantarkan saya dari pasar pagi ke rumah Ibu E oleh tetangganya. Bahkan di kota Jakarta yang serba modern dengan stereotipe individualis, ada saja yang menimpali guyonan dan membantu meski baru pertama jumpa.
Saya akan rindu adegan ramah-tamah ini jikalau suatu saat saya meninggalkan Indonesia. Walaupun, saya tidak menolak sama sekali apabila takdir membawa saya beramah-tamah dalam diskusi segar di University of Nottingham. Sembari mendengar cerita tentang legenda Robinhood, yang dikenal sebagai pahlawan rakyat kecil di masa susah, langsung dari penutur asli dari legenda itu berasal. Lalu pada gilirannya, saya akan bercerita mengenai Pramoedya, yang juga kami anggap sebagai pahlawan rakyat kecil di masa susah di Indonesia. Hingga saat itu sebenarnya, saat saya harus mengangguk cepat sebagai tanda saya tahu Pramoedya di hadapan Ibu E. Ibu E tampak senang dengan respon saya.
Hanya 100 hari sejak suaminya meninggal ketika saya datang. Katanya, dia cari anak indekos yang bisa menempati lantai 2. Setelah survei yang saya lakukan seharian, saya siap dengan tawaran ini. Harganya murah dibandingkan daerah sekitarnya, terlalu murah bahkan. Sampai teman saya berseloroh, “Hati-hati takut kamu dijadikan korban santet.” Mungkin di Nottingham tidak ada yang seperti ini ya? Kalau di negara yang serba mistikal ini, bahkan di kota besar seperti Jakarta, ada saja yang mempercayai. Tidak heran industri perhororan di Indonesia pesat sekali. Banyak sekali perfilman yang alih wahana dari hanya sekadar utas di Twitter—sekarang X.
Kalau saya? Saya bersedia berbagi hidup dengan hantu asal murah. Apalagi yang satu ini memang penawaran terbaik. Sudahlah dekat, murah, bonus sering dapat makanan karena Ibu E yang pensiunan guru ini hobi memasak. Bonus lainnya dia suka bercerita, termasuk tentang apa saja yang bisa dimasaknya. Saya jadi pendengar yang menimpali sekenanya saja. Termasuk merespon apabila diperlukan, misalnya, masakan apa yang jadi kesukaan saya. Seru!
Kalau dalam teori life span, pada usia senja, orang cenderung ingin jadi generatif. Ingin memperkenalkan, mengajarkan, atau sekadar bercerita apa saja yang sudah dilalui. Lalu saat kaum lintas generasi seperti saya dapat paham mengenai apa yang dia ceritakan, dia merasa senang.
Mungkin itulah alasan dia menyebut Pram—sapaan untuk Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana tidak? Pram adalah penulis legenda di Indonesia, yang juga sudah mendunia. Tetralogi novel roman miliknya hingga kini masih dicetak ulang dan ditranslasi ke bahasa asing: Bumi Manusia (The Earth of Mind Kind), Anak Semua Bangsa (Child Of All Nations), Jejak Langkah (Footsteps), dan Rumah Kaca (House of Glass). Tetralogi itu disebut Tetralogi Buru. Sebutan ini lahir sebab Pram menyelesaikan keempat karya tersebut di masa penahanan di Pulau Buru di tahun 1965-1979.
Di era sebelum reformasi (<1998), menyebut namanya saja bisa berbahaya, apalagi membaca bukunya. Novel roman yang mengkritisi praktik feodalisme ini dianggap mengandung ajaran komunisme dan dapat membangkitkan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa saat itu. Saat ini, orang bebas membacanya, bebas merasa terikat pada penulisnya, dan ingin kebebasan itu tetap ada. Supaya sejarah tidak terulang atau terlupa. Mana yang lebih menakutkan, saya juga masih menakarnya? Jadi, saya pun ikut membacanya sembari mencari jawaban.
Saya baca karena katanya kita tidak boleh tak acuh dengan politik, sebab apapun yang terjadi dalam hidup adalah hasil berpolitik. Bahkan pandangan hidup itupun pun besar kemungkinan hasil filtrasi dan bentukan politik, dimulai dari dari institusi pertama yang saya jalani, yakni keluarga. Saya ikut menonton juga karyanya yang sudah dialih wahana ke dalam industri perfilman, yakni Bumi Manusia. Jadi mana mungkin saya tidak tahu siapa itu Pram? Tetapi barangkali saat itu saya tidak banyak bicara, dan menjelaskan siapa si Pram ini kepada Ibu E. Sebab ternyata beliau hanya memerlukan anggukan dari saya.
Lalu beliau mulai bercerita. Esok harinya, lalu hari berikutnya, dan minggu berikutnya lagi. Topik apapun akan kembali terikat dengan Pram atau memang cerita tentang Pram lagi. Sepertinya beliau lupa, tetapi tetap saya dengarkan. Ya, karena kebebasan ekspresi adalah yang diinginkan semua orang kan? Sepertinya, yang diinginkan beliau adalah saya mengingat bahwa dia, suaminya, anaknya, semuanya adalah eksistensinya nyata. Mengikat eksistensi itu pada Pram jadi cara agar saya tidak lupa, mungkin seperti itu.
Padahal, setelah berbulan-bulan hidup bersama, saya praktis mengenal lebih banyak tentang Ibu E dibandingkan Pram. Tentang puluhan tahun karirnya menjadi guru. Tentang lokakarya yang diikutinya di awal tahun 1990-an. Tentang muridnya yang sudah banyak menjadi orang hebat, dan kerap mengiriminya pesan dengan saya diminta membaca pesan itu berulang-ulang. Bahkan saya hapal tentang silsilah keluarga dan perjuangannya sebelum akhirnya berhasil menjadi guru dan menikah dengan suaminya yang bekerja di Beacukai. Tentang betapa bangganya dia dengan suaminya yang bekerja dengan integritas tinggi hingga akhir. Hingga tentang duka yang terlambat datang, yang membuatnya acap kesepian. Juga tentang kesibukannya setelah pensiun. Tentang anak-anak yatim di sekitar kampung yang menjadi tanggung jawabnya.
Lalu, dibandingkan Pram, saya jadi lebih banyak iri pada Ibu E ini. Hidupnya banyak sekali cerita. Bejananya penuh. Bejana yang penuh itu adalah keinginan semua penulis, termasuk saya. Tanpa sadar, saya berubah dari hanya menjadi pendengar, dan mulai mengambil personanya. Sejak tinggal bersama dengan Ibu E, saya jadi suka berefleksi. Menciptakan karakter yang suka mengenang apa-apa yang terjadi dalam hidup.
Surat ini saya kirimkan dengan rasa geli. Saya rasa, saya juga mengikat identitas saya pada Ibu E untuk dikenang manusia. Bukannya dapat orang tua di Jakarta, saya yang jadi orang tua. Saya seperti nenek tua karbitan, yang kurang ekspertisme dari pengalaman asli. Haruskah saya berhenti, atau harus berbangga karena menghidupkan karakter senja dengan harap menginspirasi?
Atas cinta,
Soviah Khoriyati.
The Letters Page, Vol. 5, which features the English-language translation of the above letter, alongside eight others and an introduction from Jon McGregor, is now available to purchase here.
Featured image credit: Pexels.com